Selasa, 08 Januari 2008

Lamang, Makanan Khas Sumbar

Ada sedikit rezeki disana!

Ia selalu tersenyum kepada orang-orang yang lalu lalang didepannya. Dengan menawarkan dagangan yang tergelar didepannya. "Apo nak?" katanya. Tatkala Singgalang berdiri didepannya menengok gerak geriknya yang lincah memotong sebuah gulungan yang kira-kiira berukuran 30-35 cm. Sebuah penganan khas Sumatera Barat yang terbuat dari beras ketan dan dicampur dengan santan serta ditambahkan bumbu-bumbu lainnya untuk lebih melekatkan rasa, sehingga banyak lidah yang merasa kangen untuk mencicipinya.

Adalah Syamsidar (54), seorang pedagang lamang di Pasar Raya Padang. Ia tinggal di Seberang Padang, bersama suami dan anak-anaknya. Anak-anaknya ada delapan orang, enam orang sudah menikah dan dua orang masih bersekolah di SMA dan SMP.



Ia sudah delapan tahun berjualan lamang di pasar tradisional ini. "Sabananyo alah banyak nan amak usaoan sabalun ko nak. Dulu hiduik amak ko susah, mulonyo amak mambuek kue-kue ketek di rumah, tapi indak lancar doh. Pernah juo amak manggaleh aia barasiah jo garobak, tapi indak lo lancar. Barulah amak cubo-cubo manggaleh lamang ko. Kironyo disiko mah rasaki tu," katanya. Maksudnya, sebenarnya sudah banyak yang ia usahan sebelum menjual lanang ini. Dulu hidupnya susah, awalnya ia membuat usaha kue di rumah tetapi tidak lancar. Kemudian ia juga sudah pernah mencoba berjualan air bersih, tidak lancar juga. Barulah ia mencoba untuk membuat lamang dan disitulah rezkinya.

Syamsidar yang mengaku berasal dari Solok ini, menjadikan lamang sebagai tumpuan hidupnya, suami dan juga anak-anaknya. Lamang ini dibuat dirumahnya di seberang Padang bersama suami dan anak-anaknya. Untuk satu hari biasanya ia menghabiskan 20-25 batang lamang. Harganya, berkisar dari Rp25 ribu sampai Rp30 ribu/batang. Biasanya harga dipatok dari besar kecilnya ukuran batang, lanjutnya.

Katanya, ia bangun sebelum subuh, sekitar jam 04.30 ia mulai membakar lamang dan sekitar jam 06.30 sudah bisa di angkat. Proses pembakaran lamang ini hanya dua jam. Kemudian jam 10.00 ia mulai kepasar dengan menggunakan becak yang sudah menjadi langganannya dan biasanya ia akan pulang kerumah sekitar jam 17.00 atau jam 19.00. Meskipun lamangnya cepat habis, tetapi ia tetap setia menunggu tukang becak langganannya itu.

Sesampainya di pasar, Syamsidar mulai menggelar lemangnya di atas meja yang tidak lebih berukuran 50x100 cm. Dengan asap yang masih mengepul, ia mulai didatangi oleh pelanggan-pelanggannya, sekali-sekali oleh pembeli yang sekedar ingin merasakan lamang yang masih panas ini.

Selain menjual lamang, Syamsidar juga menjual tapai yang terbuat dari beras ketan hitam. Tapai ini dibuat dengan cara diperam selama dua hari. Untuk menjadikannya tapai, beras ini diasamkan dengan menggunakan ragi.

Kalau dalam hari-hari biasa Syamsidar mendapatkan Rp200 ribu sampai Rp300 ribu/hari. Tetapi kalau di hari baik (puasa atau ada pesanan) ia bisa mendapatkan Rp1 juta bahkan sampai Rp2 juta/harinya.

Tetapi kalau ditanya hasil bersih (laba) per perharinya, di hari-hari biasa ia akan mndapatkan hasil lebih kurang Rp60 ribu/hari. "Cukuiklah untuk mambali bareh jo samba satiok harinyo," katanya. Maksudnya, hasil yang ia dapatkan setiap hari cukup untuk membeli sambal setiap harinya.

Mengapa tidak, dari hasil menjual lamang itu ia nantinya juga harus membeli beras ketan, buluh (bambu) untuk tempat lemang, daun pisang pembungkus lemang dan sabut kelapa untuk membakarnya.

Untuk buluh dibelinya dengan harga Rp1000 perbatang sedangkan daun pisang Rp2000 perpelepah. Keduanya ini dikirim langsung dari Solok, kampung halamannya. Untuk sabut kelapa, dibelinya di Pasar Raya Padang dengan harga Rp3000 perkarung.

Syamsidar adalah satu dari empat penjual lamang yang ada di bawah Padang Teater, sementara masih ada penjual lamang lainnya yang berada di belakang Balai Kota Padang. Kebanyakan dari mereka ini adalah berasal dari Solok dan Pesisir Selatan.

Mereka merantau ke Padang untuk bisa mencari hidup yang lebih baik. Mencari peruntungan diantara lapak-lapak pedagang lain yang juga menggelar dagangannya. Mereka juga ada diantara celah-celah yang tersisa, dibalik tonggak-tonggak yang menopang kokoh Padang Teater.(***)

Selengkapnya.....

Senin, 07 Januari 2008

Kemacetan di Pasar Raya Padang

Kemacetan, bukanlah suatu hal yang asing lagi bagi pengunjung Pasar Raya Padang. Setiap hari yang terlihat adalah seliweran kendaraan yang jauh sekali dari nuansa tertib dan terarah. Meskipun ada petugas yang mengamankan, namun suasana tertib itu hanya akan tercipta tak lebih dari beberapa jam saja. Bahkan bisa hanya mencapai hitungan persetengah jam.



Kondisi seperti ini belakangan memang sudah tidak terlihat lagi, kalau dilihat-lihat lagi beberapa hari yang lalu, mungkin hampir mencapai satu minggu pasar yang sarat akan kemacetan dan kesibukan orang-orang yang berstatus pedagang, pembeli dan juga pengunjung ini seolah-olah hilang begitu saja. Konon, kondisi sepi ini adalah pengaruh dari isu bencana yang menyesakkan dada masyarakat kota bingkuang ini. Tetapi sudah beberapa hari ini pula suasana kembali membaik, malahan pada hari libur ini, Minggu (6/1) berita yang beberapa hari menjadi headline diberbagai media itu hilang begitu saja.

Tak tergambar lagi ketakutan yang selama ini membayangi wajah-wajah mereka. Entah kenapa semua itu sudah hilang begitu saja. Atau karena hari ini adalah hari terakhir bagi pelajar menikmati libur semester mereka di semester pertama ini? Atau bisa jadi setelah beberapa hari terjebak dalam ketakutan membuat mereka jenuh dan ingin kembali mencari sesuatu untuk menghibur hati? Terselah, dengan alasan apa yang membuat mereka kembali keluar rumah dan menuju pasar tradisional Padang dan menciptakan keramaian, tentunya.

Tidak itu saja, mereka pun telah kembali menghidupkan suasana pasar meskipun mereka juga akan menciptakan permasalahan dalam pasar. Kemacetan itulah masalahnya. Kalau kita menyempatkan diri berbelanja atau hanya sekedar berjalan-jalan saja ke pasar ini pemandangan yang akan pertama kali kita lihat adalah suasana kemacetan yang sering kali menyesakkan pemerintah kota. Kemacetan yang selalu menjadi permasalahan kota, akan kita temui di Jl.Pasar Raya yang mana dilokasi ini akan banyak sekali ditemui pedagang kaki lima (PKL).

Pedagang dan pengguna jalan ditambah dengan pejalan kaki akan berebut kesempatan disini. Pedagang akan menyorakan dagangannya, pejalan kaki akan mencari celah diantaranya. Sementara yang akan terjepit disini adalah pengguna jalan yang menggunakan kendaraan. Dengan bobot yang lebih besar mereka harus bersabar, bergerak sejengkal demi sejengkal untuk bisa lolos dari cengkraman yang namanya kemacetan tersebut. Dijalan lain, Jl. Pasar Baru kondisi yang sama akan kita temui. Berbagai macam kendaraan akan melewati lokasi ini. Mulai dari angkot dari berbagai jurusan, bis-bis kota dengan kapasitas yang lebih besar, mobil-mobil barang yang habis berbelanja atau pic up yang habis mengantarkan barang dagangan. Pembeli yang sibuk dengan tawar menawarnya, pedagang yang sibuk menunggu dagangannya datang dan juga sibuk menawarkan dagangannya.

Kalau dibayang-bayangkan, kondisi ini cukup sangat menakutkan sekali. Tetapi itulah dunianya. Itulah dunianya pasar. Tetapi kita tidak mengambil dari sisi jeleknya saja. Ramainya pengunjung pasar membuat pedagang tersenyum, kendati demikian kondisi ini akan dimanfaatkan sebaik-baiknya agar kerugian yang diderita beberapa waktu lalu akan terbalaskan dengan kembali ramainya pengunjung ke Pasar Raya padang ini. (***)

Selengkapnya.....

Jumat, 04 Januari 2008

Balada Pengemis Kota Padang

Kulitnya hitam kelam terbakar matahari. Ia memakai kebaya dari borkat putih yang sudah keabu-abuan, mungkin kotor karena terpaan debu yang setiap hari ia hadapi. Penutup tubuhnya yang sudah kurus tak terurus, dilengkapi sehelai sarung dan selembar kerudung panjang lusuh yang selalu melilit di kepalanya.

Adalah Ema (60), seorang perempuan tua yang mengais uang untuk hidup dijalanan. Katanya ia adalah ibu tiga anak yang kesemua anaknya laki-laki. Beberapa tahun lalu, entah kapan tepatnya, yang sudah tidak ia ingat lagi. Anaknya menikah dengan perempuan pilihannya masing-masing, dan sampai saat ini ketiga anaknya tidak lagi pernah mengunjunginya. Mereka jauh diseberang sana, lanjutnya. Tetapi ia juga sudah tidak tau lagi dimana.



Setiap hari Ema duduk dijalanan, kadang-kadang di mesjid Taqwa yang terletak persis ditengah kota Padang. Dengan membawa sebuah karung yang isinya kain untuk sholat (mukenah) dan sehelai kain sarung. Ia selalu membawa sebuah ember kecil warna biru yang selalu ditodongkannya untuk mengharap belas kasihan setiap orang yang lewat didepannya.

"Amak tingga manumpang dirumah urang, di Padang indak ado dunsanak doh. Amak cari pitih, dek ndak ado nan maagiah makan. Kalau ndak ado nan maurus makonyo amak bantuk iko, katanya.

Itu adalah satu dari sekian banyak gambaran kaum duafa yang ada di kota Padang. Mereka tidak saja duduk-duduk dijalanan. Diantara mereka juga ada yang menodongkan ember sambil berjalan dari satu toko ke toko lainnya, bahkan dari satu rumah ke rumah lainnya.

Keberadaan kaum duafa di kota bingkuang ini tidak saja dari mereka yang sudah berusia lanjut. Anak-anak yang masih dalam usia sekolah pun banyak yang berkeliaran dijalan. Bagaimana nasib mereka sebagai penerus bangsa nantinya?

Rahmat (10), dia memakai baju koko anak-anak yang sudah kumal dengan stelan celana jeans dan peci. "Mintak pitih saribu ni, untuak mambali nasi," katanya.

Ia mengaku tinggal di Lubuk Buaya, disebuah yayasan yang tidak ada namanya. Uang yang ia minta adalah untuk makan anak-anak yayasan yang katanya ada sekitar 20 anak dan juga untuk makan pengasuhnya. Ia berasal dari Pariaman dan tidak punya orang tua. Ia dimasukkan oleh orang lain yang dia juga tidak tau dengan jelas siapa orangnya.

Disisi lain juga ada sebuah keluarga yang turun sebagai pengemis. Kondisi itu sebenarnya tidak masuk akal, tapi begitulah kondisinya. Mereka membawa anak, istri bahkan cucu merekapun diikut sertakan untuk meminta-minta.

Diantara mereka ada yang cacat fisik, kondisi mereka itu dimanfaatkan untuk mengharapkan belas kasih orang. Bahkan banyak lagi alasan-alasan yang utarakan pengemis-pengemis itu untuk mendapatkan uang. Tidak akan ada yang tau, apakah setiap alasan yang mereka ungkapkan merupakan suatu yang jujur dari hati mereka. Atau hanya sebuah alasan untuk mereka mendapatkan kasihan dari orang-orang yang lewat didepannya.

Disatu sisi keberadan mereka itu sangat meresahkan masyarakat. Tapi kondisi itu dari dulu hingga hari ini belum dapat terselesaikan. Keberadaan pengemi di Kota Padang kian banyak, entah sampai kapan hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Selengkapnya.....