Jumat, 04 Januari 2008

Balada Pengemis Kota Padang

Kulitnya hitam kelam terbakar matahari. Ia memakai kebaya dari borkat putih yang sudah keabu-abuan, mungkin kotor karena terpaan debu yang setiap hari ia hadapi. Penutup tubuhnya yang sudah kurus tak terurus, dilengkapi sehelai sarung dan selembar kerudung panjang lusuh yang selalu melilit di kepalanya.

Adalah Ema (60), seorang perempuan tua yang mengais uang untuk hidup dijalanan. Katanya ia adalah ibu tiga anak yang kesemua anaknya laki-laki. Beberapa tahun lalu, entah kapan tepatnya, yang sudah tidak ia ingat lagi. Anaknya menikah dengan perempuan pilihannya masing-masing, dan sampai saat ini ketiga anaknya tidak lagi pernah mengunjunginya. Mereka jauh diseberang sana, lanjutnya. Tetapi ia juga sudah tidak tau lagi dimana.



Setiap hari Ema duduk dijalanan, kadang-kadang di mesjid Taqwa yang terletak persis ditengah kota Padang. Dengan membawa sebuah karung yang isinya kain untuk sholat (mukenah) dan sehelai kain sarung. Ia selalu membawa sebuah ember kecil warna biru yang selalu ditodongkannya untuk mengharap belas kasihan setiap orang yang lewat didepannya.

"Amak tingga manumpang dirumah urang, di Padang indak ado dunsanak doh. Amak cari pitih, dek ndak ado nan maagiah makan. Kalau ndak ado nan maurus makonyo amak bantuk iko, katanya.

Itu adalah satu dari sekian banyak gambaran kaum duafa yang ada di kota Padang. Mereka tidak saja duduk-duduk dijalanan. Diantara mereka juga ada yang menodongkan ember sambil berjalan dari satu toko ke toko lainnya, bahkan dari satu rumah ke rumah lainnya.

Keberadaan kaum duafa di kota bingkuang ini tidak saja dari mereka yang sudah berusia lanjut. Anak-anak yang masih dalam usia sekolah pun banyak yang berkeliaran dijalan. Bagaimana nasib mereka sebagai penerus bangsa nantinya?

Rahmat (10), dia memakai baju koko anak-anak yang sudah kumal dengan stelan celana jeans dan peci. "Mintak pitih saribu ni, untuak mambali nasi," katanya.

Ia mengaku tinggal di Lubuk Buaya, disebuah yayasan yang tidak ada namanya. Uang yang ia minta adalah untuk makan anak-anak yayasan yang katanya ada sekitar 20 anak dan juga untuk makan pengasuhnya. Ia berasal dari Pariaman dan tidak punya orang tua. Ia dimasukkan oleh orang lain yang dia juga tidak tau dengan jelas siapa orangnya.

Disisi lain juga ada sebuah keluarga yang turun sebagai pengemis. Kondisi itu sebenarnya tidak masuk akal, tapi begitulah kondisinya. Mereka membawa anak, istri bahkan cucu merekapun diikut sertakan untuk meminta-minta.

Diantara mereka ada yang cacat fisik, kondisi mereka itu dimanfaatkan untuk mengharapkan belas kasih orang. Bahkan banyak lagi alasan-alasan yang utarakan pengemis-pengemis itu untuk mendapatkan uang. Tidak akan ada yang tau, apakah setiap alasan yang mereka ungkapkan merupakan suatu yang jujur dari hati mereka. Atau hanya sebuah alasan untuk mereka mendapatkan kasihan dari orang-orang yang lewat didepannya.

Disatu sisi keberadan mereka itu sangat meresahkan masyarakat. Tapi kondisi itu dari dulu hingga hari ini belum dapat terselesaikan. Keberadaan pengemi di Kota Padang kian banyak, entah sampai kapan hanya waktu yang bisa menjawabnya.

0 komentar: